blog layouts

MY SOUL
Ini Adalah Weblog kami..Terima Kasih telah Mengunjungi Kami.
DAFTAR ISI
KUMPULAN BERITA
KOMENTAR ANDA
INFORMASI TERKINI

cinta adalah anugerah.

LAPORAN TERBARU

Sedang Dalam Proses

Our Sponshorship
Links
Designed-By

Visit Me Klik It
My Team Work
15n41n1
 
October 13, 2006
Black Gold
Gaharu, Eaglewood, Aloeswood,
Agarwood... It's All The Same

Leo Sunari (middle) explainingtechniques for identificationof gaharuphoto: WWF/PNG
The Sepik River is Papua New Guinea's answer to Brazil's Amazon or the mighty Congo River of Central Africa. As part of the largest uncontaminated freshwater system in the Asia-Pacific region, the Sepik is considered the soul of the country. The river's pristine state is due to the fact that there are no large cities or developments, and therefore few human-induced impacts in the Sepik region. But there are threats from mining, logging, invasive species and unsustainable fishing and agriculture practices, so it's no surprise that one of WWF's priorities is to work with the local communities to help them avoid selling off the resources that have sustained them for generations for short-term benefit. The area is home to some of PNG's rarest plants and some 55 percent of the region's plant life are endemic to the area. 120 of PNG's 200 mammal species are found here, along with 387 of PNG's 725 bird species.
Today we continue our journeys in the Forests of New Guinea, and will explore a highly valuable tree known in New Guinea as gaharu, although it has many names including: eaglewood, aloeswood or agarwood. Our guide, Leo Sunari, head of the WWF Gaharu project, has graciously offered to share his insights on WWF's work with gaharu in some of the most beautiful forests in Papua New Guinea. Leo informs us that it is believed that only those trees which are older than 25 years can produce high-grade gaharu, a valuable, dark brown- or black-colored heartwood with a very strong smell. He offers me the sample that he carries with him on community visits and with a quick sniff my nostrils fill with a musky, hearty scent similar to incense. It is found in special trees where they have been damaged and forms because the body of the tree produces a resin (like oil) in response to an injury or infection.
Gaharu is known throughout many Asian countries and there are at least 15 species of trees that naturally produce it. The valuable wood has been traded for thousands of years throughout the Asian world; it used to be commonly found in many tropical countries, from India to Indonesia. From Asia to the Middle East, agarwood is used for religious purposes, for the good smell, for cultural ceremonies and for medicine. However, in Papua New Guinea, gaharu is newly discovered and interest in the harvest and trade is still rising. Currently, different parts of PNG are going through a harvest boom, mainly in the East Sepik and Sandaun Provinces. Pukapuki Village in East Sepik Province is a place where gaharu harvesting is really taking off. We join WWF and TRAFFIC staff, who are conducting research, promoting community education and training local villagers to better manage this valuable resource. They tell us about the importance of conducting sustainable management practices for the gaharu. Both institutions believe that if carefully managed, income generated from gaharu will provide a significant improvement to the livelihoods of many rural villagers.
Participants at the Pukapuki workshopphoto: WWF/PNG
Through a series of workshops, local landowners learn more about the tree's management needs, the types and grades of gaharu, and the current market value of the resource. When it comes to preferences and trading, the grades of gaharu are usually separated into Super, A-grade, B-grade, C-grade, D-grade and E-grade, with prices dropping down with each grade. Grading is a complicated process, because many characteristics need to be considered, and traders can easily cheat rural villagers, who are just learning about the ins and outs of the resource. Not only the color of the wood is important, but also the size of the piece, its smell, its weight and how easily the wood burns. When asked why he was attending the workshop, one Pukapuki villager emphatically states, "I want to learn more from WWF so that I can make sure I get a fair price when trading the gaharu."
Gaharu is disappearing all over the world, and that Papua New Guinea is believed to have the world's last remaining stocks of mature trees in the wild. From India to Indonesia, market demand for this forest product is very strong and far greater than the supply. This is why foreign traders have been coming to remote and difficult-to-access areas like the Sepik region for the past five years. "Sustainable gaharu trade could provide many previously unattainable benefits for many rural communities across New Guinea," Leo says, "but if they don't learn how to manage it and protect it, the trees will be gone before they know it." "Once we learn what we are looking for, we do not need to cut down the entire tree," says a local man. "In order to obtain gaharu, especially young trees of 25-30 years, we just make small cuts with our bush knives where the tree has previously been injured." In this way they can quickly assess whether or not gaharu is present without killing the tree. These surveys were conducted at different periods with assistance from various communities, organizations and government departments. The information collected and lessons learned from research and workshops will enable well-informed decisions to be made about how to work together with the communities. The idea is to work alongside communities in developing well-organized, management systems for gaharu production in the clan groups.
posted by My Lovely Family @ Permalink ¤9:45 PM   0 comments
Kayu Hitam Emas
Tapin Unggulkan Kayu Gaharu
Banjarmasin, BPostSelasa, 16 Agustus 2005 01:59:41

Pantas jika kayu gaharu disebut kayu emas karena harganya yang melebihi harga logam mulia. Tak tanggung-tanggung untuk kayu yang mengandung gubal atau damar wangi itu harganya sekitar Rp5-7 ribu setiap 5 sentimeter dan mencapai Rp8-18 juta per kilogramnya untuk jenis super.
Tak heran jika jenis kayu ini menjadi unggulan Kabupaten Tapin di stannya saat pameran Abdi Persada Membangun. "Kayu ini biasanya digunakan untuk membuat bibit minyak wangi dan campuran obat serta kosmetik. Sedangkan ampasnya biasanya digunakan membuat dupa dan obat nyamuk," ujar Ketua Kelompok Usaha Tani Peletarian Hutan dan Budidaya Gaharu Kabupaten Tapin, Sufriadi.Memang untuk bertani jenis tanaman ini perlu kesabaran dan modal yang lumayan besar. Setidaknya, selain memiliki tanah yang luas, juga harus membeli bibit kayu gaharu yang harganya mencapai Rp6 ribu-Rp10 ribu per batang dengan usia 5-12 bulan. Selain itu harus sabar menanti minimal selama 7 tahun untuk dapat memanen kayu gaharu dengan cara tebang pilih atau tebang habis sesuai kebutuhan.
Mahalnya harga kayu gaharu sendiri tidak terlepas dari kandungan sesquiterpena atau senyawa kimia yang tidak dapat dibuat sintetisnya atau dipalsukan. Ada beberapa jenis gaharu di antaranya, aquillaria malaccensis, aquillaria micro carfa, aquillaria hirta, grynops verstegi, aquillaria filaria dan aqullaria becairiana. Sedangkan daerah penghasil kayu ini terbanyak di Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian."Namun menurut penelitian para ahli, jenis Gaharu yang terbaik adalah malaccensis yang hanya terdapat di Kalsel. Namun saat ini keberadaan kayu ini sudah sangat langka," cetusnya seraya menambahkan saat ini dirinya sudah dapat mengekspor sebanyak 1-2 ton kayu gaharu per bulan
Bisnis Sigit Akan dikikis Habis
KETUA DPRD Irja Robert Sitorus, berjanji akan mengkikis habis semua proyek atau bisnis yang beroparasi di Irja karena kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Termasuk bisnis kayu gaharu oleh Ari Sigit cucu mantan presiden Soeharto. oPokoknya itu sudah merupakan tekad kita untuk memberantas habis KKN, termasuk bisnis kayu gaharu oleh Ari Sigit, untuk itu secepatnya saya akan bicarakan dengan gubernur Irian jaya, ojanji Sitorus di depan kelompok peduli HAM di Irian Jaya yang menggelar mimbar bebas di halaman DPRD, kemarin. Peryataan itu dilontarkan Sitorus setelah membaca salah satu spanduk yang nadanya tidak menghendaki bisnis keluarga Soeharto dan kawan-kawan ermasuk usaha kayu gaharu.
posted by My Lovely Family @ Permalink ¤9:44 PM   0 comments
Fenomena Gaharu
Makin Marak, Perburuan Kayu Gaharu di PapuaJayapura,
Kompas

Kasus pencurian dan perburuan kayu gaharu di Papua makin marak. Tidak hanya melibatkan warga sipil dari luar Papua tetapi juga oknum aparat keamanan yang bertugas di daerah pedalaman. Demikian dikatakan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) Tom Beanal dan Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Kantor Wilayah Kehutanan Papua, Ir Herman Prayitno secara terpisah di Jayapura, Rabu (29/3). Menurut mereka, sampai sekarang tidak ada pihak yang memberi perhatian mencegah kasus pencurian dan perburuan kayu gaharu di Papua.
Fungsi kayu gaharu untuk pengharum ruangan, bahan pengawet, mandi uap, kosmetik, wangi-wangian, dan sembahyangan Cina. Semua bagian dari kayu ini dapat dimanfaatkan seperti akar, batang, daun, dan bunga. Menurut Ir Herman Prayitno, perburuan itu semakin ramai sejak lima tahun terakhir. Para pemburu kayu biasanya dalam bentuk kelompok, dan memiliki jaringan penjualan sampai ke Timur Tengah. Kota-kota/negara singgahan yakni Jakarta, Singapura, Malaysia, dan New Zealand.
Di Indonesia penghasil gaharu di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Semua daerah kabupaten di Papua memiliki potensi kayu gaharu, dengan tingkat kualitas berbeda-beda. Kualitas tertinggi terdapat di Wamena, Timika, Sorong, Manokwari, dan Fakfak. Sedangkan kualitas rendah terdapat di Merauke, walau di Merauke merupakan populasi gaharu terbesar di Papua. "Informasi yang kami terima dari pedagang, harga gaharu di luar negeri sampai puluhan juta rupiah per kilogram. Tetapi soal harga tergantung pada kualitas gaharu. Harga beli di tangan para petani atau penduduk setempat sekitar Rp 5.000 - Rp 100.000/kg," kata Herman. Dikatakan, meski belum ada undang-undang atau peraturan mengenai perlindungan kayu jenis ini, paling tidak pemburu kayu harus memiliki surat izin. Pemda perlu mengeluarkan aturan sehingga kayu itu dapat dilindungi, atau setidak-tidaknya jual beli gaharu dapat memberi keuntungan bagi masyarakat setempat. Perusahaan yang bergiat di bidang perburuan dan penjualan gaharu tiap bulan mencarter helikopter untuk masuk ke lokasi pedesaan di Paniai dan sekitarnya. (kor)
posted by My Lovely Family @ Permalink ¤9:42 PM   0 comments
Hebatnya Gaharu
EXPLOITASI GAHARU BESAR-BESARAN

Untuk meningkatkan pendapatan petani pada lahan sulfat masam, pemberdayaan lahan pekarangan merupakan sasaran yang telah kami rencanakan. Lahan sulfat masam kadang-kadang tergenang air saat banjir membuat pilihan tanaman menjadi terbatas. Oleh karena itu untuk pemberdayaan lahan pekarangan di daerah demikian dipilih tanaman gaharu karena selain bernilai ekonomi tiggi tanaman ini suka lingkungan banyak air dan tanah miskin. Untuk pengadaan bibit, kami mendapatkan bantuan dari Yayasan (NPO) Moyai Jepang yang bekerjasama dengan JIPRO. Walaupun kami memperoleh bantuan dana pengadaan bibit, kami masih memerlukan dana agar tanaman menghasilkan resin gaharu. Untuk itu kami bekerjasama dengan pihak petani dan aparat desa melalui sistem bagi hasil.
Beberapa spesies tanaman yang dapat menghasilkan gaharu di antaranya Aquilaria malaccensis, A. Agalocha, A. beccariana. Resin gaharu memberikan aroma harum bila dibakar dan dibutuhkan dalam jumlah banyak di berbagai negara. Selama ini tanaman gaharu dikumpulkan masyarakat dari hutan-hutan alam. Karena teknik pengambilan yang tidak baik, seperti dengan cara menebang terlebih dahulu sebelum melihat ada tidaknya gaharu, tanaman gaharu di hutan menjadi hampir punah. Sementara itu permintaan gaharu dari negara-negara Asia dan Timur Tengah seperti India, China, Jepang, Arab Saudi dll terus meningkat.
Gaharu merupakan tanaman tahunan yang jika terinfeksi jamur akan menghasilkan resin beraroma harum bila dibakar. Tidak semua gaharu yang tumbuh di alam menghasilkan aroma harum. Beberapa hanya menghasilkan sedikit resin, tidak sedikit pula yang bahkan tidak ada resinnya sama sekali. Untuk meningkatkan resin gaharu, saat ini telah ditemukan teknik penyuntikan jamur ke dalam kayu gaharu sehingga menjadi terinfeksi dan berpeluang kayu gaharu menghasilkan resin. Teknik ini memerlukan biaya yang besar.
Bibit gaharu yang ditumbuhkan dari biji atau stek ditanam di lahan pekarangan. Tanaman dipelihara hingga umur 6 tahun hingga diameternya mencapai sekitar 10 cm. Pada fase ini tanaman tersebut siap untuk disuntik dengan jamur. Penyuntikan harus dilakukan secara steril agar menghasilkan gaharu yang wangi. Keberhasilan proses penyuntikan perlu diuji dengan cara membor kayu di sekitar tempat penyuntikan. Jika belum berhasil penyuntikan kedua perlu dilakukan dan seterusnya sampai berhasil. Pohon gaharu yang berumur 10 tahun siap untuk dipanen khusunya jika telah berisi resin gaharu. Sebelum pemanenan perlu dicek di beberapa tempat agar diketahui pasti produksi gaharunya. Kayu gaharu yang berhasil adalah gaharu yang berisi resin gaharu. Adanya resin gaharu dikenali dengan warna atau noda hitam dan aroma harum. Saat ini kayu yang berkualitas baik mempunyai harga 750 ribu - 1 juta rupiah setiap kg.
posted by My Lovely Family @ Permalink ¤9:33 PM   0 comments
Fenomena Gaharu
Gaharu Langka Tapi Diminati

Selain menimpa satwa, nasib tragis juga telah menimpa jenis-jenis tumbuhan, khususnya kayu gaharu. Kayu gaharu yang mendapat julukan "emas beraroma dari hutan" kini tinggal menunggu waktu menuju kepunahan. Mengapa hal ini terjadi? Penyebab tak lain adalah karena pengaruh penetrasi ekonomi pasar yang merasuk kawasan pedesaan hutan. Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa dalam dasawarsa terakhir ini, penetrasi ekonomi pasar sulit dibendung kian merasuk pada sistem ekonomi penduduk pedesaan hutan.
Gubal gaharu telah laku dijual hingga jutaan rupiah per kilogram, terutama dari kualitas prima. Akibatnya, gaharu yang biasa tumbuh di kawasan hutan-hutan primer itu dicari banyak orang untuk diperdagangkan. Konsekuensi lebih jauh, kini gaharu di kawasan hutan Kecamatan Pujungan kian sulit didapatkan dan nyaris punah.
GAHARU merupakan produk hutan yang sangat unik dibentuk dari resin kayu genus Aquilaria. Di Indonesia telah tercatat ada enam jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A beccariana, A cumingiana, A filaria, A hirta, A malaccensis, dan A microcarpa. Penyebaran jenis-jenis tumbuhan tersebut cukup bervariasi, seperti ditemukan mulai dari kawasan hutan primer hujan dataran rendah hingga kawasan hutan primer dataran tinggi, di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Namun, dari enam jenis kayu gaharu tersebut, hanya dua jenis yang utama menghasilkan gubal gaharu, yaitu A malaccensis dan A beccariana.
Selain itu, dari banyak pohon-pohon gaharu yang tumbuh di hutan primer, tidak semuanya memiliki gubal gaharu. Demikian pula dari satu pohon gaharu, hanya pada bagian batang atau cabang tertentu yang mengandung gubal gaharu. Mengapa demikian? Hal ini tidak lain karena individu pohon Aquilaria yang menghasilkan gubal gaharu, terutama yang terinfeksi parasit. Pohon-pohon dan cabang gaharu yang terkena infeksi parasit berupa jamur biasanya mengeluarkan resin.Resin-resin yang harum ini biasanya terus mengeras dan berwarna hitam. Jadi, pohon-pohon gaharu yang tidak terinfeksi parasit berupa jamur tidak bakal menghasilkan gubal gaharu yang sangat wangi dan terkenal ke mancanegara.
Berdasarkan pembentukan gubal gaharu, kualitas gaharu dapat dibedakan menjadi beberapa kelas, yaitu kelas super, kelas teri, kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas IV. Harga jual pun bervariasi, tergantung kualitas gubal gaharu tersebut. Misalnya, kualitas gaharu yang paling baik dapat laku dijual 4-5 juta per kg. Sedangkan kualitas paling rendah, harga jualnya antara Rp 100.000- Rp 350.000 per kg.
Karena harga jual gaharu yang mahal tersebut, tidaklah heran jika gaharu banyak diburu orang, baik oleh penduduk lokal maupun penduduk luar, bahkan dari luar Pulau Kalimantan, seperti orang-orang dari Pulau Jawa. Perdagangan gubal gaharu pun bukan saja untuk perdagangan di dalam negeri, tetapi paling menonjol juga untuk diekspor ke luar negeri. Misalnya, diekspor ke China dan India untuk diperdagangkan sebagai bahan obat-obatan. Pun diekspor ke Jepang untuk bahan dupa dan parfum. Kayu gaharu sesungguhnya sejak tahun 1995 telah ditetapkan masuk Appendix II CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Hal ini artinya bahwa gaharu pada tahun 1990-an tidak terancam punah, namun memiliki kemungkinan terancam punah jika perdagangannya tidak teratur. Komoditas gaharu hanya boleh diperdagangkan kalau ada izin dari pihak authority. Kendati telah dimasukkan dalam Appendix II CITES, gaharu telah menjadi sebuah fenomena umum bahwa sumber daya alam milik bersama atau tidak ada pemiliknya yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi biasa dieksploitasi banyak orang secara bebas dengan mengabaikan sistem keberlanjutannya.
Perdagangan gaharu yang seharusnya masuk kualifikasi harus mendapat pengaturan dan izin dari authority. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini tidak pernah ada yang menghiraukannya. Terlebih lagi eksploitasi gubal gaharu kian semarak dilakukan oleh orang-orang luar pedesaan hutan.Mereka biasanya secara berkelompok menjelajahi berbagai kawasan hutan mencari gubal gaharu. Perilaku orang-orang luar tersebut dalam mengeksploitasi gubal gaharu sangat berbeda dengan perilaku penduduk lokal yang bermukim di pedesaan hutan.
Penduduk lokal biasanya menebang kayu-kayu gaharu secara selektif yang dilakukan hanya pada pohon-pohon gaharu yang memiliki gubal gaharu. Hal ini karena mereka mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang pohon-pohon gaharu yang memiliki gubal gaharu di kawasan hutan primer.Sedangkan penduduk luar pedesaan hutan biasanya mencari gubal gaharu pada umumnya dengan cara menebang semua pohon-pohon gaharu tua yang ditemukannya di hutan primer. Padahal, tidak semua pohon-pohon gaharu tersebut memiliki gubal gaharu. Akibatnya, pohon-pohon gaharu tua makin berkurang, sedangkan untuk regenerasinya butuh waktu yang sangat lama.BERDASARKAN kasus eksploitasi gaharu yang intensif oleh banyak orang, tampaknya upaya penyelamatan gaharu dengan hanya mencantumkan komoditas hutan tersebut dalam Appendix II tidaklah memadai. Mengingat di era ekonomi pasar bebas global dewasa ini, setiap pencari gaharu telah berpikir sangat rasional, yaitu mereka semua berpikiran yang hampir serupa, buat apa melindungi gaharu-gaharu di hutan primer untuk cadangan hari depan.
Sejalan dengan teori Hardin (1968), yang mengemukakan bahwa sumber daya alam milik bersama atau tidak ada pemiliknya sangat rawan terhadap bencana kerusakan. Hal ini karena tidak ada seorang pun yang merasa ingin mengonservasi demi pemanfaatannya secara berkelanjutan.Karena itu, upaya nyata dari semua pemangku kepentingan (stake holders) secara partisipatif dan kolaborasi sungguh dibutuhkan untuk menyelamatkan "emas beraroma dari hutan", gaharu, yang terkenal dalam perdagangan domestik maupun mancanegara.
Johan Iskandar Dosen Biologi FMIPA dan Peneliti pada PPSDAL-Lemlit Universitas Padjadjaran
posted by My Lovely Family @ Permalink ¤9:31 PM   0 comments